Senin, 02 November 2009

Nila Setitik, Rusak Air Susu Dibalas Air Tuba Sebelanga

Jika kita menjadi korban Air Susu dibalas Air Tuba, kita punya banyak pilihan untuk membalas pelaku. Cara paling emosional adalah membalaskan sakit hati dengan menambahkan Nila di air tuba yang telah bercampur air susu. Biar rusak sekalian air susu sebelanga-nya. Air tuba dan Nila serupa tapi tak sama. Air tuba dibuat dari akar-akaran yang biasa digunakan orang-orang zaman dulu untuk meracuni ikan. Sedangkan Nila adalah ekstrak dari pohon perdu bernama sama, berwarna indigo dengan daya racun yang sama kuat. Nila untuk air tuba berarti membalas kebencian dengan kebencian. Nila dan air tuba sama-sama beracun, sama merugikan. Satu-satunya yang kita dapat dari cara ini adalah kelegaan emosi, dan itu juga beracun.

Cara lainnya adalah membuang-hilangkan air susu yang telah bercampur air tuba. Seluruhnya. Hingga hilang kebaikan, hilang keburukan. Mulai segala sesuatunya dari nol. Ini tentu bukan hal yang mudah. Terlebih otak kita didesain untuk tidak mudah lupa, meski sadar kita lupa, tapi otak bawah sadar kita menyimpannya untuk kemudian diingatkan kembali jika ada pemicu.

Cara yang paling ekstrim sulitnya dan merupakan tingkatan emosi tertinggi untuk membalas “air tuba membalas air susu” adalah menambahkan air susu sebanyak-banyaknya sebanyak-banyaknya. Tambahkan air susunya sebanyak mungkin hingga air tuba tak lagi punya dampak meracuni. Sulitnya, kita tidak tahu sampai berapa banyak air susu yang harus kita berikan agar tuba yang ada tak lagi punya taji. Puluhan kali bahkan ratusan kali lipat banyaknya air susu yang dibutuhkan, begitu juga dibutuhkan kebaikan yang sedemikian banyak untuk menetralkan keburukan orang lain.

Ekstrim sulitnya memang. Tapi, seorang rekan kerja saya pernah bercerita tentang pembantu rumahnya. Sang pembantu, ibu akhir empat puluhan, meratau ke Jakarta menjadi pembantu meninggalkan suami, anak dan tanah ibu. Mencuci baju sepatu, memasak nasi dan menumis bumbu. Ia lakukan semua karena sang suami di kampung bekerja tak menentu. Belasan tahun ia memeras keringat agar anak dan suaminya bisa makan layak mutu. Sampai suatu ketika ia menerima kabar bahwa sang suami telah menemukan wanita baru. Sang suami membela diri, ia tak tahan menahan nafsu. Sang pembantu pilu, kini ia telah dimadu. Perasaan sang pembantu tak menentu. Hatinya selayak diiris sembilu, seperti dibelah pandan berduri mundur maju. Hidupnya kemudian berantakan tak menentu. Hidup layu mati tak mau.

Berbulan ia selayak hantu, sampai kemudian ia memandang masalahnya dengan cara baru. Ia kembali ke kampung mendatangi suami dan sang madu. Memberikan tabungan hasilnya menjadi pembantu. Kepada suami, anak dan sang madu. Sang pembantu menemukan gairah baru. Ia tahu, ia lebih baik dari suami dan sang madu dengan mampu mengalahkan emosi diri yang menderu. Ia bilang ia akan mencoba membalas perlakuan sang suami yang tak tahu malu dengan kebaikan seputih air susu. Sebanyak yang ia mampu.

Ekstim sulitnya memang. Tapi jika seorang pembantu mampu. Saya juga pasti mampu. Asal saya mau.