Senin, 01 Februari 2010

Birthday at Bromo Part 2

Perjuangan belum selesai. Untuk sampai ke bibir Bromo, pengunjung harus menaiki anak tangga miring tajam. Rasanya mau mundur saja jika Simon dan anak perempuannya yang berumur 6 tahun tak ada di belakang saya menaiki anak tangga dengan semangat. Apalagi, di depan saya dalam arah pulang, ada seorang turis menggunakan kruk menuruni tangga tertatih. Ia pasti telah menaiki tangga yang sama seperti tangga yang saya naiki sekarang. Kalau dia yang cacat bisa, saya pasti bisa. Saya langsung memujinya, salut to you my man. Yang dipuji tersenyum dan memberi semangat saya untuk naik ke atas.

Dan saya akhirnya bisa sampai ke bibir Bromo. Kawah aktifnya tak henti mengeluarkan asap. Untung tak banyak uap belerang sehingga saya bisa berlama di sini, mengambil beberapa foto untuk diupload di facebook atau dikirimkan ke salah satu majalah ibukota atau untuk dikirimkan ke tim audisi take him out.

Puas dengan memandangi Bromo yang sedikit mengingatkan saya pada neraka kalau saya badung di dunia, saya merasa harus jujur kali ini. Tak ingin rasanya membohongi kustiawan dan pengangon kuda lainnya. Saya pun memilih untuk berjalan kaki pulang ke tempat hardtop kami di parkir. Letih, tapi tak ada pilihan. 4 Km lautan pasir menunggu di depan. Tapi, pemandangan sekitar Bromo tetap menjadi penghilang lelah yang ampuh.

Sampai di homestay pukul 8.30, rasanya dengkul ini butuh tambahan pelumas sekaligus tempurungnya. Beristirahat sebentar, Pak Hartono menjelaskan tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi di sekitar Bromo. Saya tertarik. Ada pasir berbisik yang akan mengingatkan saya pada tempat pertemuan pertama saya dengan Dian Sastro. Di pasir berbisik inilah kami pertama kali bertemu. Dian di televisi sedang acting film pasir berbisik, saya di luar TV di sofa warna biru menyaksikan Dian melakoni anak suku tengger. Ada juga savanna, ranu pane dan coban pelangi. Di coban pelangi ini tempat shooting film reboundnya Tamara Blesynizki. Konon di film ini, Tamara rela diet ketat dan olah raga berat demi obral aurat.

Saya langsung bersemangat menelusuri kesemua tempat tersebut. Deal dengan salah satu tukang ojek kenalan Pak Hartono, 200 ribu bersih. Satu jam kemudian saya sudah siap mengarungi lautan pasir, bermain di savanna, ke ranu pane, cemoro lawang dan tembus ke Malang kota apel.

Perjalanan ruarr biasa. Melewati lautan pasir saya menjumpai beberapa warga tengger yang sedang mencari rumput. Wajah-wajah tanpa nafsu keduniawian. Kemudian saya menyempatkan mematung di savanna yang kata pengendara motor yang saya sewa seperti di teletubis. Entah karena pemandangannya atau karena pengunjungnya, saya maksudnya, yang membuat si tukang ojek mendapatkan ide tentang teletubis tersebut. Dari savanna yang menjadi rute para pendaki Semeru, Ion sang pengojek, mengantarkan saya melewati jalan yang kedua sisinya curam terjal. Sebelah kiri jurang, jurang di sebelah kanan. Tapi melewati perkampungan petani ranu pane membangunkan saya bahwa Indonesia memang harus mengembangkan agribisnis di negeri ini. Ini seperti apa yang ada di kepalanya Wati, Budi dan Iwan, sahabat waktu saya kecil yang saya kenal di buku paket.

Dari ranu pane, perjalanan menelusuri pemukiman warga tengger makin mengasikan. Ladang-ladang yang sedang disiangi berselimutkan kabut. Hawa dingin yang memberi kesejukkan membuat saya beberapa kali harus menepuk bahu Ion dan memintanya untuk mengambil gambar saya dengan gaya natural yang dibuat senatural mungkin. Next time kalau saya berniat ikut take him out, saya sudah punya banyak stok gambar.

Menuju coban pelangi, perjalanan harus membelah hutan hujan tropis. Berkilometer saya dan ion berboncengan tanpa bertemu seorangpun. Dan akhirnya saya sampai di coban pelangi. Ion hanya bisa mengantarkan saya ke gerbang loket, setelah itu saya menuruni bukit sampai di coban atau curug dalam bahasa sunda. Dalam perjalanan menuju coban saya bertemu banyak orang dan kesemuanya berpelukan mesra. Jangan-jangan coban ini memang untuk para pasangan. Bulu kuduk saya tiba-tiba merinding, saya seperti ditemani seseorang. Ayat kursi saya lantunkan, bulu kuduk saya mulai normal sambil terus berjalan menuju coban. Setelah turun naik licin kering daratan ditempuh, saya sampai juga di coban pelangi. Dengan tinggi kira-kira 50 meter, curug ini memiliki bentuk sempurna hanya saja aliran airnya tak cocok untuk mandi dan berendam. Alamnya masih terlalu liar dan tak ramah. Saya hanya bisa beristirahat sebentar, mengambil beberapa foto diri menggunakan kamera dan tangan sendiri, setelah itu kembali ke gerbang.

Dan benar saja, perjalanan kembali ke gerbang memerlukan energi yang jauh lebih berat. Saya sempat 5 kali beristirahat. Bulu kuduk saya kembali meremang di tempat pertama kali bulu kuduk saya berdiri. Lagi-lagi ayat kursi dilantunkan. Saya punya pengalaman mistis 14 tahun lalu di salah satu curug di bogor. Tak perlu lah saya ceritakan, nanti bisa jadi scenario film tamara berikutnya.

Sampai di gerbong Ion sudah siap mengantarkan saya ke Malang. Di gerbang ini juga saya bertemu dengan dua teman saya kemarin. Ternyata mereka terilhami oleh saya untuk juga mengunjungi tempat-tempat yang saya kunjungi, kecuali mereka mengurungkan keRanu Pane karena jalannya yang terjal. Beberapa menit kemudian kami konvoi melewati kebun-kebun apel yang buahnya baru saja menyembul. Beberapa sudah selesai panen dan masih tersisa, saya mampir sebentar memetik satu saja buahnya merasakan sensasi memetik apel langsung dari pohonnya, sensasi mimpi masa kecil.

Perjalanan 2 hari ini just about to end. Dari Terminal Malang saya naek bus menuju Bungurasih, 15 ribu saja, 2 jam perjalanan. Dari Bungurasih, saya naik taxi bertiga dengan mahasiswa Unibraw yang duduk di samping saya di bus. 50 ribu bertiga, 20 menit, sampai di Bandara Juanda pukul 17.45. Di Bandara Juanda, saya dikerubuti Calo tiket. Mereka tahu saya penumpang Go Show. Mereka menawarkan harga tiket 450 rb ke Jakarta. Saya selayak Tukul saat itu. Ndak mau tahu dan ngga mau denger para calo. Dari counter ke counter saya datangi untuk mencari tiket termurah dan terdekat jadwalnya dan pilihan itu jatuh pada Mandalaair. 508 ribu tanpa minum tanpa snack. Di ketinggian 33000 kaki saya kehausan dan terpaksa membeli jus apel 300 ml seharga 18 ribu.

Sampai di Jakarta pukul 19.45 WIB dengan nuansa baru. Matahari terbit di puncak bromo adalah saat saya menyadari bahwa masih akan ada keriangan baru dalam hidup saya. Tapi, saya juga harus berhati-hati melangkah. Jika tidak hidup hanya akan mencengkeram saya sewarna jingga kemerahan di puncak Pananjakan