Minggu, 04 Desember 2011

Aku, Cinta, Kamu

Aku mencintai kamu, tapi kamu cuma mencintai kamu. Jadi kapan kita bisa menyatu?

Sejak aku mengenal kamu, kita sudah sedemikian dekat. Sedekat untaian kromosom. Tapi cuma secara fisik kita dekat, hatimu seperti hutan yang tak henti membuatku merasa tersesat. Aku tak pernah mengerti seluas apa hatimu dan ada apa di dalamnya. Jika kutanya apakah kau mencintaiku, mulutmu seperti Raflesia Arnoldi, kuncup menahun yang membuatku akhirnya keletihan melakukan apapun untuk membuat mulutmu kembang dan berkata sesuatu kembali. Jika aku bilang aku mencintaimu, dirimu tiba-tiba menjelma pohon pinus yang tumbuh cepat melebihi tinggi tubuhku dan secepat kilat tiba-tiba tumbuh daun yang membentuk kanopi menghentikan perkataanku disitu tanpa bisa menjelaskan lebih jauh bahwa aku mencintaimu sedalam-dalam hatiku.

Aku mencintai kamu, tapi kamu cuma mencintai kamu. Tapi aku tak kan berhenti sebelum engkau mengusirku.

Hari itu ulang tahunmu yang ketiga puluh. Tak ada yang hadir dipestamu, karena engkau sebenarnya tak ingin ada pesta. Aku tak tega melepas hari lahirmu tanpa sesuatu. Jadi, kubuat pesta ala ku sendiri. Cuma aku sendiri tamu yang diundang. Saat tepat jam 12 malam, di sebuah restoran tepi pantai, tiba-tiba tanpa engkau tahu sebelumnya, seorang waitres membawa kue ulang tahun mungil dengan lilin bentuk usiamu yang masih menyala. Aku riang menyanyikan lagu ulang tahun buatmu berharap engkau seriang aku mensyukuri nikmat Tuhan yang telah memberimu satu tahun tambahan usia.

Tapi usahaku sia-sia. Engkau tak juga riang. Bibirmu masih terkatup tertutup. Bibirmu sempat terbuka ketika engkau tiup nyala lilin diujung lagu yang cuma aku yang menyanyikan. Itu saja. Setelah itu, cuma ombak malam yang menemani kita, aku sendiri tepatnya, menikmati kue ulang tahun seharga setengahjuta rupiah.

Tapi, usahaku memesan makanan kesukaanmu tak sia-sia. Bibirmu kembali terbuka menikmati harumnya salmon bakar yang dimasak seadanya dengan taburan saos keju. Engkau tak bersuara, tapi aku tahu dari gerak bibirmu engkau menyukai makanan yang kupesan.

Aku berhenti makan setiap engkau mulai mengunyah. Buatku, ini lebih dari cukup untuk membalas usaha kerasku memesan tempat istimewa ini untuk malam istimewa bersama orang yang istimewa: kamu. Engkau menatapku lurus disuap salmon terakhirmu. Engkau tersenyum. Sebuah hadiah ulang tahun terindah di hari istimewa.

Aku mencintai kamu, tapi kamu cuma mencintai kamu. Dan aku berjanji, tanpa atau dengan cintamu, aku akan tetap mencintai kamu.

Aku tak pernah mencintai seseorangpun sebelumnya sedemikian dalam. Buatku, cinta seagung kejora. Cuma ada satu di setiap langit kehidupan seseorang. Aku sibuk dengan studi dan karir sehingga aku tak pernah memberi celah untuk cinta hadir. Aku belum siap mencinta ketika aku masih harus berusaha keras meraih gelar MBA dan menjadi direktur termuda di perusahaanku sekarang. Tapi, celah itu terbuka ketika engkau didekatku pertama kali. Di elevator menuju lantai 31 kantorku. Pagi itu hujan pukul 6. Tak ada karyawan yang datang ke kantor sepagi itu, kecuali aku yang harus menghindari macet Jakarta. Kecuali orang kesepian seperti aku dan kamu, Oke, seperti aku saja pastinya.

Dan seperti dongeng-dongeng di cerita-cerita masa kecil. Cinta sejati ditunjukan oleh alam untuk kita. Alam mewujudkan kejadian istimewa yang memaksa dua orang yang disejatikan saling mencintai bertemu; sepatu kaca yang tertinggal, pangeran dari negeri antah berantah yang tiba-tiba hadir dan mencium tubuh putri yang dingin beku, atau putri cantik yang tanpa alasan bersedia mencium kodok yang bisa bersuara.

Buat kami, buat aku tepatnya, kejadian istimewa itu adalah elevator yang mati pagi-pagi saat petugas elevator mungkin masih terjebak macet di pertigaan patung pancoran. Kami berdua berbagi oksigen, berbagi ketakutan. Tak ada pembicaraan kita saat itu, tapi refleksku mendekatimu yang mulai gemetar. Engkau diam ketika aku rangkul tubuhmu, ketika wajahku kudekatkan di wajahmu. Dan ketika hidung bangirmu bersentuhan dengan hidungku, kita sama-sama berucap “kita akan mati sama-sama”

Dan setelah itu, aku tak ingat apa-apa. Sekretasisku sudah ada di samping tempat tidurku. Dan ia bilang, aku ditemukan pingsan sebelum satpam gedung membawaku ke rumah sakit. Sejak itu aku mencintaimu, karena aku sungguh-sungguh ketika aku bilang aku ingin mati bersamamu.

Aku tetap mencintaimu. Tapi kamu cuma mencintai kamu. Aku akan melakukan apapun untuk membuktikan cintaku padamu tak terbantahkan.

Aku berhasil membujukmu. Bukan sepenuhnya karena aku sebetulnya. Aku cuma mengangguk ketika seorang teman baik menawarkan untuk membawamu ke psikolog. Bukan karena kamu sakit jiwa, tapi kita berdua harus dipersatukan. Masa depan kita ditentukan oleh kesamaan visi yang kita miliki. Saat ini, aku sadar bahwa kita mungkin saling mencintai; setidaknya aku tahu kadar cintaku padamu, tapi aku tahu cara kita memandang cinta teramat jauh berbeda. Demi masa depanmu, demi masa depanku, demi masa depan kita, rayu teman baik tadi. Aku tak memaksamu, aku hanya mengangguk setuju, dan engkau pun bersamaku pagi ini, di ruang seorang psikolog ternama yang wajahnya sering muncul di televisi dan majalah gaya hidup.

Aku tetap mencintai kamu, tapi kita memang harus berpisah, meski kita satu, kita tak memikul kata cinta yang sama.

Psikolog terkenal itu membukakan pintu untuk aku dan kamu keluar dari ruang praktiknya. Psikolog itu boleh berbangga, karena bantuannya aku jadi tahu mengapa sikapmu dingin selama ini. Mengapa tak sedikitpun engkau mau menghargai cinta yang aku berikan padamu. Engkau bilang, tak ada lagi cinta yang orisinal di dunia ini. Love is overrated. Tak ada lagi unconditional love seperti yang kamu mimpi-mimpikan sejak kecil. Cinta saat ini tak lebih dari logika yang bersayap romantisme. Romantis di mulut, tapi motif cintanya tak sedikitpun berbau cinta. Cinta yang banyak bertaburan saat ini tak cukup untuk memagari hati untuk tak bercabang. Cinta tak lagi cukup untuk menenangkan hati ketika dua orang berjauhan. Cinta hadir Cuma ketika dua fisik bersentuhan, setelah itu hilang terganggu sinyal handphone.

Tapi aku tak mau kalah dengan pendapatmu. Buatku cinta masih agung, unconditional love itu masih ada bela-ku. Belah saja dadaku, kataku, dan kamu akan temukan cinta putih disana. Aku masih percaya cinta yang mendamaikan dan cinta yang melenakan. Ada cinta seperti pada dongeng-dongeng yang pernah kita baca bersama. Jika kita pernah dihianati seseorang yang kita cinta, bukan berarti unconditional love itu benar-benar tidak ada. Kita hanya perlu mencari orang yang tepat kemudian berusaha membangun cinta yang agung itu. Jika banyak orang yang mudah mengatakan cinta padahal dihatinya tak lebih dari hasrat memenuhi kepenasaran atau hanya alasan sex dan harta semata. Jangan berhenti berusaha, aku akan terus bersamamu menjadi pejuang untuk menempatkan cinta di tempat yang agung, tempat semestinya cinta berada. Aku butuh kamu, karena kita harus berusaha bersama. Tidak aku sendiri, tidak kamu sendiri.

Sang psikolog tersenyum di pintu ruang praktiknya. Dia bilang aku harus kembali ke sini minggu depan jam empat.Minggu depan dia akan melerai ke-akuan dan ke-kamuan dalam satu raga ini. Cinta mungkin kompleks, tapi tak seharusnya itu memunculkan dua kepribadian dalam satu tubuh. Aku gontai.

Aku tetap mencintaimu meski cinta kita tak kan lama lagi. Minggu depan jam empat sore sang psikolog akan membunuh satu dari aku atau engkau.

Aku mencintaimu. Karena itu, atas nama cinta yang agung aku mengalah. Aku tunduk pada pemikiranmu bahwa cinta sudah terlalu diagungkan. Sudah saatnya kita menyadari bahwa segala sesuatunya berubah, termasuk cinta. Tak ada lagi unconditional love diatas dunia ini. Semuanya, dalam konteks apapun, harus dipertimbangkan dengan logika. Tak perlu kita mati demi orang yang kita cinta. Hanya orang-orang bodoh yang menyalahkan cinta atas kebodohan atas nama cinta yang mereka lakukan. Aku mundur, kenang saja aku tanpa pernah ingat bahwa aku pernah punya unconditional love.



Griya Kenanga, 4 Desember 2011