Minggu, 31 Januari 2010

Birthday at Bromo Part 1

Bromo is a beautiful place. You will feel like somewhere in Scotland (don’t ask me whether I ve been there or not)

By flight I arrived at Juanda Airport Surabaya at 11.30. setelah kurang lebih 20 menit, saya sampai di terminal Bungurasih. Alhamdulillah, sejak tadi saya ingin muntah naik bis Damri dari bandara Juanda. Tersangka utamanya adalah goyangan bus yang seperti odong-odong. Anak kecil di samping saya saja sudah 180 derajat berubah, yang semula riang dengan es krim ditangan sampai pucat pasi menahan gubakan isi perutnya. Beda sama seorang wanita ngejreng di samping saya. Dengan dandanan menor dan kaca mata hitam, saya sempat mengintip anunya..upps maksudnya, pesan yang ia tulis di SMS-nya. Begini kalau tidak salah, Mas Bambang, kalau kita ketemuan kira-kira istri Mas Bambang marah, Nda..?? Duh, terpaksa sekali saya menduga bahwa wanita di sebalah saya ini adalah PRT di Jakarta yang kesepian karena suaminya jadi TKW di Malaysia kemudian mencoba mencari selingkuhan baru.

Sampai di Bungurasih, suara calo-calo menggema. Saya serasa Tio Pakusadewo, berakting seolah-olah Bungurasih bagian dari jajahan saya. Saya mendongak biar para calo tak curiga saya yang baru pertama kali memasuki areanya. Saya selamat sampai di bis AKAS menuju Jember. Setelah memastikan bus akan melewati terminal probolinggo, saya simpan tas rangsel besar saya di kursi sebelah, biar tak ada orang yang berani mendudukinya dan saya dengan legawa hanya membayar Rp. 23.000 sekali jalan

Sampai di Probolinggo kira-kira jam 4. Hmm hampir putus hati saya. Konon, angkot menuju Cemoro Lawang di pundak Bromo hanya sampai jam 4. Mungkin kalau tidak ada badai yang merobohkan pohon-pohon di sisi jalan Pasuruan dan membuat bus AKAS yang saya tumpangi tersendat-sendat, saya pasti sudah sampai probolinggo jam 3. Alhamdulillah, ternyata masih ada yang menawarkan angkot ke Bromo, dan alhamdulillahnya lagi di dalam angkot tersebut sudah ada sepasang muda-mudi – seusia saya maksudnya. Seorang berkebangsaan Nepal, seorang lagi berkebangsaan Medan. Tanya punya tanya, mereka telah menunggu penumpang lainnya, yaitu SAYA, tak kurang dari 3 jam. Meski sudah 3 orang di dalam angkot, sang supir bergeming. Dia bilang, rugi lah kalau Cuma mengangkut 3 orang dengan tarif normal 25 ribu per orang. Ia mulai bernegosisasi bagaimana kalau kami bertiga membayar renteng 250 rb. Sang pria berkebangsaan Nepal, marah besar. Dia berteriak dengan ingris logat Indianya, Why now, after 3 hours waiting. I will stand still, I will try to give him a pressure katanya pada sang perempuan pasangannya. Aku senyum kecil di hati. Duuh pressure, Bandeng kali di pressure…

Akhirnya dengan berolah menjadi penengah aku bisa membuat angkot itu berangkat. 60 ribu seorang. Everyone deal, everyone happy but the Nepal Guy. Dan perjalanan menuju cemoro lawang ternikmati jauh lebih indah dari perjalanan ke puncak jawa barat. Alam yang bersahabat di dataran tinggi jawa timur itu masih perawan, rumah-rumah sederhana dikelilingi ladang kubis atau wortel. Ada banyak kabut yang bermain petakumpet di pekarangan rumah dan ladang. Sejuk yang menyejukkan dan dingin yang menghangatkan. Hmmm suatu saat saya ingin tinggal di salah satu rumah itu barang sebulan.

Sampai di cemoro lawang hampir jam 6. Sepi. Di sini, Kehidupan berakhir di jam 6 sore. Senyap, nanti agak malam sedikit akan ada lantunan suara mirip suara zikir dari pengeras suara mushola. Saya sempat bingung, para penduduk cemoro lawang mayoritas beragama Hindu, bagaimana mungkin ada Mushola yang melantunkan zikir dengan pengeras suara. Selidik punya selidik, ternyata pujian pada sang kholik dilantunkan dengan cara yang sama antara muslim dan pemeluk hindu di ranah jawa ini.

Hotel yang pertama dituju adalah hotel cemara indah. Hotel yang direkomendasikan banyak pengguna internet sekaligus hotel dimana angkot ke cemoro lawang berhenti. Pemandangannya luar biasa. Hotel Cemara Indah, terletak di sisi tebing yang menampilkan panorama lautan pasir, Bromo dan gunung Batok. Tapi, pemandangan itu hanya untuk kamar dengan rate 300 ribu. Untuk kamar yang ratenya 100 ribu, cukup dengan pemandangan bunga-bunga ranum merah muda dari gorden kain katun.

Akhirnya, mengikuti usulan supir angkot, saya dan kedua teman baru saya diantar ke homestay milik Pak Hartono persis di sebelah hotel cemara indah. 100 ribu untuk kamar yang jauh lebih layak dari kamar hotel cemara indah. Tak apalah. Toh di kamar ini tak kan ada aktivitas selain tidur.

Yah, memang tak akan ada aktivitas selain tidur. Di Homestay tak ada televisi, colokan listrik saja tak ada. Laptop yang saya bawa dari rumah dengan khayalan bisa menulis cerita sebagus laskar pelangi harus tetap dimatikan. Mau nyolokin listrik kemana?. Pun, dinginnya udara menusuk kalbu. Kasurnya pun menusuk otot. Kasur yang disediakan sama sekali tak memiliki daya membal. Tubuhku yang 85 Kg ini melesap dalam kasur tipis yang membusuk karena hawa dingin dataran tinggi Bromo ini. Tidur yang tak melelapkan. Jam 3.15, saya terbangun dari tidur tak lelap saya dikarenakan pegal otot tubuh yang kaku karena dingin udara dan lembab kasur melebihi ambang batas. Segelas Moccachino yang saya bawa dari rumah cukup menjadi pelipur lara dalam dingin udara pagi itu. Tapi, ketika mocahino tandas di bibir saya yang beku, saya segera mengenakan kupluk, syal dan sarung tangan. Keluar dari ruangan, saya serasa di New Zealand (again, don’t try to ask me whether saya udah kesana or not, TABU). Udara yang keluar dari hidung saya membentuk uap putih. Saya menikmati 10 menit sendiri di sepi cemoro lawang, hanya berteman uap putih dari mulut dan hidung saya. Setelah Pak Hartono mengetuk pintu para penghuni homestay yang lain, beberapa diantaranya kemudian bergabung bersama saya di halaman homestay. Salah satunya Mr. Takeshi, Japanese who had been travel around Indonesia for this 2 month. Dengan enggurisunya yang dame, dia berani traveru to java ne. Murai Bangdung, Soro, semarang, Surabaya dan Bromo, pake basu. Setelah itu, katanya dia mau ke Bali, lanjut ke giri airu. Syahdan, orang jepang lebih seneng giri airu daripada giri trawangan.

Jam 4, hardtop yang kami pesan seharga 100 rb per orang ke supir angkot tadi siang sudah menjemput. Saya dan dua teman saya satu angkot tadi sore langsung berada di satu hardtop. Takeshi memilih menggunakan motor ke puncak pananjakan yang suhunya mungkin 10 derajat. Tambah kagum aja saya sama nyali tuh orang. Dia juga bilang, nanti pulangnya dia akan jalan kaki dari Bromo, swimming in the ocean of sand, saya berseloroh. Dia tertawa, tapi saya tahu dia ngga ngerti maksudnya, mungkin saya harus merubah aksen ingris amerika saya sedikit. Anata wa swiminngu on e osiang of sanu desu.

Hardtop saya yang telah berisi tiga orang harus menjemput tiga orang penumpang lainnya. Satu keluarga dari Australia. Mariza, Simon dan their daughter. Tak banyak perbincangan di hardtop. Selain udara masih membeku, goyangan hardtop yang melewati jalan terjal menuju puncak pananjakan membuat kami harus berpegang teguh pada apapun yang bisa dipegang. Sampai di puncak jam 5 lewat, sudah ada lebih dari seratus orang berebut mencuri awal matahari terbit di sisi tempat yang telah disediakan. Kami termasuk yang terakhir tiba sehingga kami hanya bisa berdiri di belakang. Tapi cukuplah melihat matahari terbit sebagus itu. Terlebih ini adalah awal hari baru buat saya karena pagi itu bertepatan dengan satu hari sebelum usia saya genap sekian sekian. Actually this travel is a special birthday gift for me from myself.

Cuma 40 menit kami menikmati matahari terbit dari puncak bukit. Dari lautan cumulus nimbus di kejauhan, jingga matahari menyuarakan keriangan sekaligus kengerian. Seperti hidup setiap harinya, selalu menyediakan keriangan dan kengerian bergantian bahkan kadang bersamaan. Setelah dari pananjakan, hardtop kembali menuruni bukit dan menuju lautan pasir. Di tengah lautan pasir itu ternyata kami diturunkan karena dari sana kami harus berjalan sekitar 3 Km kemudian menaiki anak tangga 45 derajat kemiringan untuk sampai di bibir Bromo. Saya memilih paket mudah. Menggunakan kuda yang dibayar menggunakan voucher seharga 50 rb. Sempat saya berbohong sama sang pengangon kuda yang saya naiki. Kustiawan, sang pengangon dengan halus bilang ke saya, Mas Beratnya berapa? Saya yang sensitif terhadap pertanyaan tentang berat, balik bertanya. Memangnya kenapa Kus? Kuda ini maksimal menganggkut penumpang dengan berat 80 Kg. Saya menjawab halus, ooh saya beratnya 80 Kilo ko..kustiawan tersenyum, entah mengiyakan atau ia tak mau menampik rezeki. Tapi kata-kata Kustiawan berikut membuat saya ketar ketir. Iya Pak, kalau di atas 80 Kg kudanya akan berhenti di tengah jalan mendaki nanti..kustiawan menjawab pertanyaan saya berikutnya, hati saya mulai dagdigdug.

Kuda berjalan tertatih. Tubuh saya yang baru pertama kali menaiki kuda, kaku. Beberapa kali saya hampir terjatuh. Setelah setengah perjalanan baru saya tahu tipsnya menaiki kuda. Saya teringat pengalaman Jack Scully di Avatar, the key is connection. Jadilah saya elus-elus pundak sang kuda dan merasakan kenyamanan berada di pundaknya. Tubuh saya meluruh dinamis mengikut gerak tapak kuda menaiki jemari Bromo. Saya serasa terbang meliuk diantara floating islands di Planet of Pandora

(berlanjut.....)