Jumat, 22 Oktober 2010

Menikahlah Denganku

Di sudut sebuah rumah makan di Jakarta. Remang cahaya lilin meruapkan aura romantis. Tak banyak pengunjung menikmati hidangan di rumah makan fine dining terbaik di Jakarta ini. Di antara para pengunjung, kami diam khusyuk saling menatap.

“Maukah kau menikah denganku..??”
Ia berlutut, menengadah dengan wajah terdedah harap. Aku bergeming, terkejut.
“Maukah kau menikah denganku, Ayu..??”
Ia mengulang katanya dengan suara yang lebih berat, berharap jawab.

Aku berdiri dari dudukku, mengangkat kedua telapak tangannya dari kedua telapak tanganku, pelan dengan cinta tak terbelah. Hatiku gundah, apa yang aku takutkan akhirnya datang juga. Bukan aku tak mencintainya, atau tak ingin menghabiskan waktu berdua dengannya seumur hidupku. Hanya saja, menikah dengannya..?? akhhh…

Lima belas bulan sebelumnya…
Senja di salah satu sudut Helsinski; Aku duduk di salah satu sudut café di dekat hotel dimana aku menginap di daerah Katajanoka. Aku baru akan datang ke tempat konferensi esok hari. Sore ini setelah menyegarkan diri di hotel, Aku menyempatkan keluar hotel dengan jaket yang kugunakan untuk menepis hawa dingin dan sebundel makalah yang harus kupresentasikan pada hari keempat dari lima hari konfrensi yang direncanakan.

Di sudut café yang didesain dengan gaya eropa: dinding batu bata merah ranum; lampu dinding ala mediterain; kudapan dan kopi yang masih mengepul, aku sibuk membuka-buka makalah ditangan. Sesekali kutatap orang-orang disekeliling sambil berpikir beberapa dari mereka mungkin juga peserta konfrensi besok hari yang diadakan oleh Working Group on DNA Analysis Method, sebuah organisasi bentukan FBI. Aku diundang dalam konfrensi ini semata karena aku terlibat langsung dalam analisa DNA korban tragedi Bali 2002 lalu, dan FBI yang terlibat dalam penyelidikan waktu itu menganggap aku Mas Ayu Putri Avieska layak berbicara di forum internasional itu.

Senja yang terus berjalan merubah sinar mentari yang keemasan menghilang. aku masih terpekur dengan makalah ditangan, saat seseorang menyapa.
“Indonesian…??”
Aku mengangkat pandang, menatap sumber suara.
“Yah,…” aku menjawab senang.
“Saya,.Roy..nice to have people from Indonesia, here…”
“Ya, nice to meet you too..”
“Silahkan,..” sambungku mempersilahkan teman baruku untuk duduk

“Travel atau sedang dinas…??,..” ia membuka percakapan
“Hmmm,..dinas.” aku menjawab tanpa melepaskan bundel makalah di tangan
“Oww..nampaknya Anda sangat serius, boleh saya tahu apa yang Anda baca..”
Aku mengernyitkan dahi, mungkin malu atau bahkan bangga dengan jawaban yang aku akan berikan atas pertanyaannya. Akhirnya, aku cuma bisa mengangkat makalah dan membalikan halaman depannya agar ia bisa membacanya sendiri.
“Advanced Using MtDNA at Restriction Fragment Length Polymorphisme method.. God, what a title,..Anda yang menulis…??”
Aku cuma membalas dengan senyum, bangga.
“Ini hari pertama di Helsinki..??”
“Yup..”
“Bagaimana kalau saya ajak Anda berkeliling , sayang kalau Anda ke Helsinki tapi tak sempat melihat banyak hal di sini. Ayo lah,..nanti akan saya ajak Anda melihat taman Sibelius atau taman Kaivopuisto, semuanya indah, terutama patung-patung Roma-nya.
Ayolah, tak mungkin saya berbuat jahat sama orang satu negara, lagi pula apa saya ada tampang penjahat…” rayunya.

Akupun mengangguk tanda setuju. Aku juga tertarik untuk menikmati pemandangan Helsinki lebih jauh. Beberapa saat kemudian kami berada di pedestrian melewati gedung-gedung yang berarsitek sangat eropa hasil peninggalan kekusasaan Rusia di ibukota Finlandia ini. Aku tertegun mengagumi Tsarina`s stone, tugu yang diatasnya bertengger elang emas berkepala dua, objek yang tak pernah dilewati turis mancanegara saat berkunjung ke Helsinski.

“Anda belum cerita, tujuan anda di Helsinki…” tanyaku
“Hmm..Anda sudah berkeluarga,..???” tanyanya mengelak dari pertanyaanku
“Belum,..”
“Mengapa…??” Hening yang panjang, ia nampak tak nyaman
“Yaaaa, belum ada cinta yang menepi..” jawabku sekenanya
“Hmm..”, ia sedikit terkekeh,… “tak kan pula cinta menepi bila belum kau siapkan dermaga untuk cinta menepi” katanya.
“Kamu…??”
“Hampir…”
Aku memandang wajahnya,..meminta penjelasan..
“Aku justru berbeda denganmu, justru karena seringnya cinta menepi, aku tak pernah jadi menikah.”
“Maksudmu..??”
“Aku mudah jatuh cinta, bahkan suatu saat, aku pernah mencintai 7 orang dalam satu waktu..”
“Tujuh..???!!, bagaimana mungkin, engkau cuma punya satu tulang rusuk yang terserabut.”
“Tujuh,…??!!” Aku masih belum mengerti
“Aku selalu menemukan kekurangan dari orang yang aku cintai, dan ketika tidak kutemukan kekurangan tersebut pada seseorang, aku akan mencintainya,..dan begitu seterusnya, sehingga genaplah sudah tujuh orang yang saling melengkapi satu sama lain dan tak mungkin semuanya aku nikahi,..kan…??.”
“Tapi, yang engkau cintai dari jenis manusia kan..?? Mencintai manusia berarti engkau akan menemukan kekurangan di dalamnya,” debatku

“Kamu, kenapa tak kau coba untuk menjadikan seseorang sebagai kekasih…?” balasnya
Ia menatapku, kali ini lebih dalam.Aku kikuk tapi mata kami bertemu lama.

Helsinki pada senja menjadi kolaborasi tempat dan waktu yang menyenangkan untuk menikmati pedestrian. Tak terasa kami telah berjalan lebih dari satu kilometer. Kini kami berada di teras katedral Uspanski, katedral yang dibangun oleh AM Gornostayev pada tahun 1868. Di sini kami dapat melihat Helsinski secara lebih detail, terlihat market square yang hanya ramai pada pagi hingga siang dan kapal-kapal pesiar yang berseliweran di laut Baltik.

“Kamu pernah jatuh cinta…??? tanyanya
“Cinta terlalu absurd buatku, ia kata yang terbang, rasa yang tak terdefinisi, aku lebih suka menjabarkan sel eukariot dan proses migrasi kromosom ketimbang harus bicara tentang cinta.” Jawabku panjang lebar. Aku memang asing dengan cinta. Sejak aku baligh sampai usia awal tiga puluhan seperti saat ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku pernah menyukai seorang teman SMA dulu, tapi sesuatu dalam benakku melarangnya. Alhasil, aku cuma bisa menunjukkan rasa benci pada laki-laki yang sebenarnya membuat jantungku berdegup keras. Aku akhirnya sibuk dengan urusan sekolah, kuliah dan penelitian. Aku tak mengindahkan banyak laki-laki yang sebenarnya mengejar cintaku. Aku rigid. Aku cuma tak ingin menyia-nyiakan hidupku untuk sebuah perasaan serupa cinta. Persis seperti ayah ibuku yang akhirnya bercerai demi mengejar cinta yang baru. Padahal mereka pernah saling mencintai ketika mereka menikah. Mereka masih saling mencintai ketika aku lahir. Tapi ketika cinta mereka pupus dan masing-masing menemukan cinta yang baru, mereka tega meninggalkanku di rumah nenekku. Cinta baru mereka membuat mereka lupa, aku masih butuh kasih sayang. Kata-kata barusan terucap tanpa sadar. Belum pernah aku menceritakan hal yang sangat pribadi tersebut kepada orang lain. Terlebih lagi pada orang yang baru 2 jam aku kenal.
“Tapi, sejatinya manusia adalah makhluk pencinta, kamu pasti akan merasakannya lagi ” katanyanya menyudutkan
“By the way, senja hampir menepi, malam akan segera datang. Kita kembali ke Katajanoka, hotelku tak jauh dari café tadi kita bertemu.” Aku tak suka arah pembicaraannya barusan.
“OK..kita bisa bertemu lagi..???”
“Mungkin..” jawabku..

Seperti yang sudah dijadwalkan, pada hari keempat aku menjadi pembicara dengan makalah yang memang telah aku persiapkan. Aku sepintas menangkap wajah Roy diantara para peserta seminar. Dan betul sesaat setelah seminar berakhir Roy datang menghampiri.
“Good Job, Indonesia butuh orang-orang yang mampu mengharumkan nama bangsa seperti kamu ”
“Thanks..!!.” Aku tersenyum, menatapnya dalam..menyenangkan rasanya menemukan seorang Indonesia di antara kerumunan wajah kaukasia. Ia juga menatapku dengan cara yang sama.
“you know what..?..presentasi kamu tadi mengingat saya arti pentingnya cinta”
Aku terkaget, apa maksud dari perkataannya barusan.
Ia melanjutkan, “Cinta itu seperi Mitokondria yang tadi kamu jelaskan di seminar, ia adalah penyemangat, penghasil adenosin tripospat yang membangkitkan energi, keberadaannya mesti ada pada semua sel, terutama pada saat-saat dimana kita perlu pembangkit gairah, seperti juga mitokondria yang sangat dibutuhkan oleh sel-sel kontraktil dan sel-sel tubuh yang selalu membelah seperti pada epitelium, akar rambut dan epidermis kulit”
Aku terhenyak, aku belum mengenalnya jauh.
“Kapan balik ke Jakarta..??” tanyanya
Aku tersentak dari lamun panjangku untuk mencoba menebak lebih jauh identitas orang yang telah membuatku salah duga, membuatku bangga.
“Oh..besok, pesawat jam 8 malam, kamu…??”
“Mungkin saya akan menetap disini sampai setahun kedepan..Penelitianku tentang perilaku ribosom pada proses duplikasi DNA virus HIV belum selesai..” jawabnya.
Aku kembali tertaget, tapi aku merasakan nyaman yang baru kali ini kurasakan bersama seorang laki-laki. Meski terlambat, tapi mungkin aku masih layak merasakan cinta.

Kembali ke Jakarta…
“Bukankah seharusnya engkau gembira, Sayang..??” ia telah berdiri dengan sejuta tanya
“Aku gembira, Roy..hanya sajaa..?”
“hanya saja..??” ia berlalu menjauh, perlahan, pasti dengan gusar yang menggelombang.
“Roy..??!” aku setengah berteriak memanggilnya, ia berhenti, dan berbalik arah
“Bukannya aku tak mencintaimu, Roy, hanya saja,…”
Wajahnya kritis mengharap penjelasan.
“Hanya saja, aku..aku tak percaya dengan…..per ni ka han”
Roy terkejut. Ekspresinya seperti tanaman yang bertahun-tahun tak disiram
“Cobalah mengerti dulu dan tak menjadi hakim sebelum saya jelaskan semua..”
“Saya tak percaya pada pernikahan, karena cinta tak harus dikontrak sehidup semati, itu sama saja memenjarakan rasa, sesuatu yang saya sendiri tak tahu bentuknya, kamu ingat ceritaku lima belas bulan yang lalu tentang kedua orang tuaku, kan?”
“Jadi, kau tak sepenuhnya mencintaiku..?” tanyanya sedih
“Bbbb bukan begitu, I do love you, so so much, but..do I love you next year..?”
“ I will love you next year, and the years after…believe me.” Roy menjawab setengah berteriak mengguncang bahuku dan memaksa mata kita bertabrakan
“ Saya percaya kamu Roy, tapi..”
“ Tapi apa..??!!, kamu takut kita tak saling mencintai ke depan..??!’, ya Tuhan, kamu dan saya tak kan pernah tahu apa kita akan saling mencintai kecuali kita mencobanya”
“Apa jadinya jika kita tidak lagi saling mencintai sementara kita masih terikat pernikahan..??”
“Ayu, mencintai is a never ending process, menikah adalah cara untuk melegalkan proses cinta bertumbuh. Cinta akan membesar kala kita menikah, karena kita akan berproses untuk mengetahui satu sama lain. It’s a process Ayu..”
“Tapi, mereka menjadi musuh setelah menikah, bersitegang dan saling membenci setelah menikah”
“Itu karena mereka berpikir bahwa menikah adalah pelabuhan terakhir dari cinta, it wasn’t, pernikahan itu awal bukan akhir perjalanan cinta, banyak orang sukses bertumbuh cintanya setelah menikah, bahagia luar biasa setelah itu, trust me..!!”
“I do trust you, mungkin kamu banyak melihat orang yang bahagia setelah menikah, Tapi aku dengan mata kepalaku justru melihat sebaliknya”
Roy luluh lemas. Tak tahu apa lagi yang harus dikatakannya padaku, perempuan yang katanya telah memenuhi hatinya sejak lima belas bulan lalu. Kami diam di kursi masing-masing, membiarkan udara malam membekukan tubuh kami, menyerahkan semuanya pada waktu, sang penguasa alam.

LIturgi Kematian

Beberapa karangan bunga dipasang di sekitar podium. Merah ranum, putih gading; Mawar. Udara beku dingin. Di dekat bunga-bunga yang memendar wangi, wajah David pias putih. Baju putihnya ditutup jas hitam baru. Ia kaku disana, matanya terpejam penuh. Tubuhnya terbaring di peti yang tutupnya dibiarkan terbuka. Hanya kain kelambu menutupi peti. Semua hadirin senyap khidmat mendengarkan pemberkatan terakhir dari pastor gereja. Mengantarkan jasad David yang sebentar lagi dibawa ke peristirahatan terakhir.

Semua wajah berkabung tak terkecuali. David, Bapak tiga anak ini meninggal beberapa hari lalu dalam serangan jantung mendadak. Tak ada firasat sebelumnya yang mengabarkan ia akan terbang ke negeri seberang tanpa pernah kembali pulang. Nyawa yang hanya satu memang bisa lepas kapan saja, mengagetkan keluarga dan rekan, membawa derai tangis sepekan.

Sang pastor memula pemberkatan
Kembalilah tenang hai jiwaku, sebab Tuhan itu baik. Sungguh berharga kematian semua orang yang dikasihiNya, sebab kepadaNya ada pengampunan. Tetapi Tuhan, kami sungguh berduka atas kehilangan saudara kami ini. Perpisahan dengan kematian ini membuat keluarga di sini dan persekutuan kami melihat betapa rapuhnya hidup ini.

Seperti pemazmur yang mengatakan bahwa: “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia. Dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.”

Khutbah sang pastor selesai. Liturgi belum sepertiganya selesai. Jamaat yang hampir kesemuanya berbaju hitam menunduk menahan tangis. Melepas David, satu dari sekian banyak jemaat gereja yang rajin mengikuti pelayanan. Ia disuka hampir semua orang. Keramahan bercampur semangat dan kecerdasannya merupakan magnet besar yang membuatnya disukai banyak orang.

Setelah sang pastor, tiba giliran Sarah, istri David. Sejak berdiri dari kursinya di barisan depan ruang misa, Sarah sudah menjadi perhatian. Sarah, seperti juga David, dikenal sebagai pribadi yang menarik. Tidak cuma karena keramahan dan antusiasmenya, tapi juga fisiknya. Meski telah melahirkan tiga anak, jejak kecantikan sarah tak pudar. Sarah, cantik secantik-cantiknya, mirip Aishwara Rai, primadona Bollywood. Sarah, sangat kontras dengan David yang berbadan tambun, bermata sipit dan berkacamata minus tebal. Mereka bertemu saat sama-sama kuliah di Nanyang Technological University (NTU) Singapura. Rekan-rekan Sarah menduga, David telah menggunakan ilmu hitam untuk menggaet Sarah. Secara logika, tak mungkin Sarah jatuh hati pada David. David memang cerdas, tapi di NTU banyak laki-laki secerdas David tapi punya penampilan yang jauh lebih baik dari David. Jemaat tak tahu bahwa sebentar lagi Sarah akan mengungkapkan ilmu hitam apa yang telah digunakan David selama ini.

Sarah berjalan tegak. Masih terlihat mendung diwajahnya. Sesekali ketika ia menuju podium ia menatap tiga anaknya yang sejak awal misa duduk bersisian dengannya. Jemaat menahan nafas. Mereka dapat melihat kehilangan besar yang dirasakan Sarah. Betapa tidak, Sarah dan David adalah pasangan inspirasional. Beberapa anak muda menjulukinya sebagai “love is blind” couple. Mereka percaya Sarah tak melihat fisik David ketika mereka memutuskan menikah. Karena, sekali lagi, Sarah bisa mendapatkan laki-laki yang jauh lebih baik dari David. Sarah juga tak mungkin dituduh menikahi David karena harta. Sebagai putri diplomat, tak kurang kekayaan yang diterima Sarah dari orangtuanya.
Jemaat menahan nafas, mereka telah siap mendengarkan kata perpisahan yang memilu yang akan keluar dari bibir Sarah.

Selamat pagi semua.Sarah memulai pidatonya.
Terima kasih atas dukungan dan ungkapan duka cita Anda semua, kepergian David memang berat, tapi dengan bantuan Anda semua, kami pasti bisa melaluinya.

Sampai sini Sarah diam. Ia menunduk sebentar, kemudian membuka kacamatanya dan sedikit merapikan rambut sebahunya dengan sedikit kibasan. Jemaat menahan nafas. Sarah berubah cerah. Jemaat terdedah, kemudian Sarah tersenyum dan melanjutkan pidatonya. Jemaat bertambah heran. Kaku menatap sikap Sarah

Berbeda dengan pidato pelepasan yang biasa Anda dengar ketika seorang meninggal, Saya, tidak akan bercerita hal-hal positif saja tentang David. Saya, justru akan menjabarkan perilaku buruk suami saya…Dan itu tidak sedikit.
Sarah menyelipkan senyum nakal di akhir kata-katanya barusan

Jamaat menahan napas. Ibu dan Bapak David saling menatap satu sama lain, heran. Begitu pula jemaat lain yang datang bersama suami atau isteri atau rekan masing-masing. Tapi Sarah tetap bersuara lantang dengan sikap yang meyakinkan. Sebagian wajah-wajah hadirin tegang. Tak menduga apa yang telah dan akan dikatakan Sarah.
Suami saya, bukan pria romantis sama sekali. Ia lebih sering berada di depan laptopnya dibandingkan berbaring dengan saya di tempat tidur. Malam-malam pertama setelah menikah adalah malam-malam penuh siksaan buat saya. David jarang menemani saya, sekalinya ia ada di samping saya ia MENDENGKUR dengan dahsyatnya.
Sarah berbicara dengan antusias. Tulus tak dibuat-buat. Suasana di dalam gereja dan wajah-wajah jemaat yang sebelumnya tegang mulai cair. Sarah kembali melanjutkan
Suara dengkurannya seperti kereta luar kota kroook… ……kroook…… kroook
Sarah meniru dengkuran David dengan jenaka. Hadirin mulai menahan senyum.
Ketika makan di meja makan, cara ia makan betul-betul kampungan. Ia bisa bersendawa tiba-tiba,
Sarah lagi-lagi meniru gaya David bersendawa, HuAAAHHH, lucu persis.
Kemudian David akan melanjutkan makannya seolah tak terjadi apa-apa. Kata sarah melanjutkan.
Sarah kemudian diam menunduk. Kemudian dengan suara tertahan ia kembali melanjutkan pidatonya.
Sebagian dari Anda pasti bertanya mengapa saya tak memilih lelaki lain yang lebih sempurna. David sipit..Sarah memicingkan matanya lucu, jemaat tersenyum.
David tambun. Sarah mengelembungkan pipinya sehingga wajahnya cantik membulat, bulat seperti wajah david. Beberapa jamaat mulai berani melepas derai tawanya meski cuma sedikit. Tetapi tawa seluruh hadirin pecah memenuhi ruang gereja, ketika Sarah dengan sedikit terbuka menceritakan kehidupan ranjang mereka. David, kata Sarah, lebih suka menjadi “anjing” daripada menjadi “misionaris”. Sarah tanpa malu, tidak hanya berkata, ia bertingkah lucu menirukan ucapannya, penuh penghayatan selayak pelawak.

Ketika tawa hadirin reda. Sarah kembali pada posisinya, dengan khidmat dia mengatakan;
Ketika saya gadis, semua orang memuji kecantikan saya. Karenanya, saya berusaha menjadi sempurna untuk semua orang, untuk menyenangkan mereka yang telah menyenangkan saya melalui pujian selangit. Tapi pujian yang sama tidak saya dapat dari David. Ia satu-satunya lelaki yang belum pernah mengatakan saya cantik, saat itu.
Awal perkenalan kami terjadi ketika kami sama-sama satu kelompok untuk mengerjakan satu projek kuliah. Ketika hanya kami berdua beradu argumen di perpustakan, tiba-tiba David berkomentar; Hidungmu bangir mancung, tapi kurang simetris.

Rasanya bukan main marahnya mendengar penghinaan David barusan. Saya pikir, David laki-laki tidak normal. Ia hanya tak suka pada saya yang menjadi pusat perhatian. Tapi, kemudian David menatap saya dalam, membuat saya kikuk didepan makluk teraneh itu. Ia lalu mengatakan sesuatu yang tidak saya duga sebelumnya; Ketidaksimetrisan hidung kamu itu membuat saya jatuh hati, katanya, syahdu sambil menatap dalam ke mata saya. Saya malu seketika, kikuk mendengar pernyataan David barusan. Selama ini saya berusaha sekuat tenaga menutupi sedikit ketidaksimetrisan hidungku dengan riasan make up, semua orang tertipu, tapi tidak David.

David, satu-satunya orang yang mampu melihat kekuranganku daripada kelebihanku. Tidak hanya ia mampu menemukan tapi juga mencintai kekuranganku. Ketika ia melihat kekuranganku, tak ada yang ia lakukan kecuali ia memujiku. Ia tahu, saya tak bisa memasak, tapi ia selalu memuji hasil masakanku. Ia tahu saya suka film-film cengeng bollywood, ia tak protes meski saya tahu ia sangat membenci menonton film apapun, kecuali Doraemon kantong ajaib. Dan ia tetap bersamaku selama dua jam lebih di dalam bioskop.Tanpa Mengeluh

Hadirin tersenyum.

David, yang menyadarkanku untuk melihat kelebihan dan kekurangan dengan cara pandang yang sama. Kita tidak hanya bisa mengambil kelebihan seseorang tapi tak menerima kekurangannya. Kelebihan dan kekurangan seseorang hadir saling melengkapi, begitu David mengajarkan saya.

Bersama David, 17 tahun terakhir, saya belajar untuk mengerti bahwa sebagai manusia kita dipenuhi oleh ketidaksempurnaan. David yang bilang ke saya, ketaksempurnaan manusia adalah bentuk kesempurnaan kita sebagai manusia. Sarah jeda, kepalanya menunduk.

Saat ini, saya akan kehilangan jasad David, tapi pelajaran yang David berikan akan terus menjadi peninggalan berharga buat saya, dan akan saya teruskan untuk anak-anak kami.
Sarah menatap satu-satu ketiga putra-putrinya. Sambil menatap ketiganya, Sarah penuh yakin mengatakan

Anak-anakku, Jangan pernah berusaha menjadi sempurna jika itu membuat kamu kehilangan sisi riang dirimu. Jangan pernah ingin sempurna, jika itu harus melukai orang lain. Biar saja orang mengejekmu karena ketidaksempurnaanmu. Mereka yang mengejek ketaksempurnaanmu, adalah mereka-mereka yang belum memahami hakikat kemanusiaannya. Ketaksempurnaan David, ayah kalian, juga ketidaksempurnaan kalian anak-anakku, membuat hidup Mama sempurna.

Hadirin sepi. Sarah turun dari podium. Ada tetesan airmata di wajahnya. Ia berjalan bergegas menghampiri kemudian memeluk tiga putra-putrinya.

Selasa, 03 Agustus 2010

Di Depan Pintu, Ariel Menunggu

"Baru kali ini, Indonesia mampu membawa isu yang mampu bertahan selama 9 jam di trending topic Twitter, mengalahkan peluncuran IPad dari Apple Inc."

Juni 2010 lalu Indonesia dihebohkan dengan munculnya video porno mirip artis Ariel dan Luna Maya. Namun, sampai saat ini vokalis band Peterpan dan icon XL tersebut belum mengakui bahwa mereka adalah pelaku dalam video tersebut. Ternyata rumors yang ada terus berkemabnag, bahkan dikabarakan masih banyak lagi video-video serupa yang diperankan ariel dan pacar-pacarnya yang lain.

Hal ini terjadi sebagai ekef negatif dari kemajuan teknologi. Hanya dalam hitungan menit berita dan video tersebut menyebar dan mudah diakses oleh pengguna internet di seluruh dunia. Banyak rumor berkembang menyebutkan bahwa masih banyak koleksi pribadi ariel yang berpindah tangan dan sampai saat ini belum diekspos ke dunia maya.

Secepat reputasi ariel naik ketika masuk ke dunia musik, secepat itu pula namanya akan terpuruk, akibat beredarnya video porno itu. Jika terbukti bahwa Ariel memiliki 32 koleksi video porno seperti yang diberitakan, maka Ariel berhak mendapatkan rekor Muri sebagai artis dengan video porno terbanyak.

Seiring dengan ramainya trending topic di jejaring social twitter mengenai video porno Ariel, nama Ariel inipun kini mendunia. Bahkan, salah satu artis porno terkenal dari Jepang, Miyabi, menantang Ariel untuk bermain dalam satu film.

Apa yang dilakukan Ariel menunjukkan kebobrokan moral para artis Indonesia. Bahkan beberapa kalangan mengkhawatirkan ini sebagai awal maraknya perilaku bejat masyarakan pada zaman Nabi Luth. Bagi Ariel, apa yang dilakukannya tidak hanya mengakibatkan hujatan dari masyarakat, bahkan pintu neraka sudah menantinya.

(ditulis oleh secara gotong royong oleh peserta training BKW TOP Academy Batch 2)

Senin, 29 Maret 2010

Engkau Masih Baik

Engkau seperti guci antik di rumahku
Kurawat engkau semampuku
Kujunjung kehormatan keindahanmu
Tapi di belakangku
Engkau seperti toples kue
Haruskah berlanjut kujunjung kehormatanmu

Engaku (mungkin) baik hati
Mungkin engkau tak seburuk yang kupikirkan
Engkau memiliki berjuta kebaikan
Buruk dan baik Cuma masalah subyek penilai
Engkau pastilah baik buatmu, buat para pemujamu
Buat tetangga-tetanggamu, buat teman malammu
Tapi belum baik buatku
Atau aku harus sepertimu, biar aku mampu melihatmu baik

Main Hati

Jangan merasa bersalah
Jika kau baca banyak luka di kisahku
Jadilah dirimu sebelum ini
Yang tak pernah bermain hati
Untukku dan puluhan temanmu

Pintu dan Jendela

Sejak aku lahir
Aku telah menutup pintu diriku sekuat aku mampu
Tapi rusaknya diriku
Karena engkau telah membukakan jendela
Membawa debu hitam menempel di dalam diriku
Apatah guna sekarang masih kubiarkan pintuku tertutup

Datanglah Cinta Baru

Datanglah engkau wahai pribadi baru
Mendekatlah padaku
Aku telah rindu padamu
Engkaulah pemilik cinta sejatiku
Yang menantiku, kunantimu

Engkau lah pemilik sejuta puisiku
Yang membenarkan kisah-kisah sejati tentang cinta
Yang mengimani puisi-puisi romantisku

Datanglah mendekati wahai pribadi baru
Masih ada sejuta puisi dan kisah romantic untukmu
Kan kuhidangkan apapun yang kau mau
Karena kau cinta sejatiku
Penyelamat keyakinanku
Bahwa akan selalu ada satu cinta sejati untuk setiap umat

Sakit Hatiku

JIka kau ingin tahu betapa sakitnya hatiku
Cobalah ke batu hiu
Cabutlah seruas pandan berduri terbesar di sana
Masukkan sedepa ke liang hatimu
Lalu kau iris hatimu pelan-pelan
Biarkan durinya lepas satu-satu dan bersarang di sana
Teruslah bergerak pelan-pelan
Sampai enam purnama berlalu

Jika kau ingin tahu betapa sakitnya hatiku
Kubur saja keinginanmu
Karena kau takkan mampu merasakannya

Aku tak marah padamu

Aku tak pernah cemburu kau memilih orang lain
Aku sadar, aku tak kan mampu diperbandingkan dengan puluhan orang
Aku hanya menyesalkan tujuh purnama berlalu jauh dari harapku
Mungkin tak sepenuhnya salahmu
Aku yang terlalu emosi mencinta
Hingga tak lagi nalarku terlibat

Baru kutahu Engkau jauh dari berhak atas cintaku
Tapi, Engkau telah sita waktuku
Hingga aku tak lagi mungkin merasakan cinta sejati
Cinta dalam puisi dan kisah yang kutulis untukmu
Yang engkau bilang menyukainya
Mungkin karena engkau bisa mentertawakan kenaifan kisah cinta yang kuimpikan

Aku tak pernah marah padamu karena kau memilih orang lain
Aku hanya marah atas diriku yang begitu bodoh menerimamu

Hatiku tak lagi berdarah

Mengapa tak kau tinggalkan saja diriku
Jika hanya ingin kau toreh luka baru

Untukmu ketahui,
Hatiku tak lagi punya darah yang mengalirkan rasa sakit
Tak guna kau bujuk aku untuk mempercayaimu lagi
Untuk kemudian kau lukai lagi
Karena hatiku tak lagi punya darah

Ini bukan puisi untukmu

Aku rindu menulis puisi
Merangkai kata paling romantis sedunia
Seperti dulu kerap aku lakukan untukmu

Tapi tidak kini,
Aku ingin menulis sebanyak puisi
bukan untukmu
Karena puisi yang kutulis murni dari hatiku
Tak pernah berarti apa-apa untukmu
Bahkan, kau hempas semuanya

Hingga tahunan hatiku bisu berpuisi
tak bertenaga menulis satu katapun
Hanya mampu membaca remah puisi yang tak berarti apa-apa buatmu

Aku akan menulis sejuta puisi
Hingga tumpah semua rasaku
Tapi tak kan kutulis sebait puisi pun untukmu
Tak kan pula berguna kugarami air selautan

Jumat, 26 Maret 2010

Hatiku Belah

Hatiku masih belah berantakan. Seperti didera gempa dadakan. Retak-retak tak beraturan.
Hatiku ternyata rapuh. Berdentum setiap detiknya seperti tak henti ditabuh.
Luluh bergemuruh. Ledak berkeredap. Lalu belah berantakan.

Senin, 01 Februari 2010

Birthday at Bromo Part 2

Perjuangan belum selesai. Untuk sampai ke bibir Bromo, pengunjung harus menaiki anak tangga miring tajam. Rasanya mau mundur saja jika Simon dan anak perempuannya yang berumur 6 tahun tak ada di belakang saya menaiki anak tangga dengan semangat. Apalagi, di depan saya dalam arah pulang, ada seorang turis menggunakan kruk menuruni tangga tertatih. Ia pasti telah menaiki tangga yang sama seperti tangga yang saya naiki sekarang. Kalau dia yang cacat bisa, saya pasti bisa. Saya langsung memujinya, salut to you my man. Yang dipuji tersenyum dan memberi semangat saya untuk naik ke atas.

Dan saya akhirnya bisa sampai ke bibir Bromo. Kawah aktifnya tak henti mengeluarkan asap. Untung tak banyak uap belerang sehingga saya bisa berlama di sini, mengambil beberapa foto untuk diupload di facebook atau dikirimkan ke salah satu majalah ibukota atau untuk dikirimkan ke tim audisi take him out.

Puas dengan memandangi Bromo yang sedikit mengingatkan saya pada neraka kalau saya badung di dunia, saya merasa harus jujur kali ini. Tak ingin rasanya membohongi kustiawan dan pengangon kuda lainnya. Saya pun memilih untuk berjalan kaki pulang ke tempat hardtop kami di parkir. Letih, tapi tak ada pilihan. 4 Km lautan pasir menunggu di depan. Tapi, pemandangan sekitar Bromo tetap menjadi penghilang lelah yang ampuh.

Sampai di homestay pukul 8.30, rasanya dengkul ini butuh tambahan pelumas sekaligus tempurungnya. Beristirahat sebentar, Pak Hartono menjelaskan tempat-tempat lain yang bisa dikunjungi di sekitar Bromo. Saya tertarik. Ada pasir berbisik yang akan mengingatkan saya pada tempat pertemuan pertama saya dengan Dian Sastro. Di pasir berbisik inilah kami pertama kali bertemu. Dian di televisi sedang acting film pasir berbisik, saya di luar TV di sofa warna biru menyaksikan Dian melakoni anak suku tengger. Ada juga savanna, ranu pane dan coban pelangi. Di coban pelangi ini tempat shooting film reboundnya Tamara Blesynizki. Konon di film ini, Tamara rela diet ketat dan olah raga berat demi obral aurat.

Saya langsung bersemangat menelusuri kesemua tempat tersebut. Deal dengan salah satu tukang ojek kenalan Pak Hartono, 200 ribu bersih. Satu jam kemudian saya sudah siap mengarungi lautan pasir, bermain di savanna, ke ranu pane, cemoro lawang dan tembus ke Malang kota apel.

Perjalanan ruarr biasa. Melewati lautan pasir saya menjumpai beberapa warga tengger yang sedang mencari rumput. Wajah-wajah tanpa nafsu keduniawian. Kemudian saya menyempatkan mematung di savanna yang kata pengendara motor yang saya sewa seperti di teletubis. Entah karena pemandangannya atau karena pengunjungnya, saya maksudnya, yang membuat si tukang ojek mendapatkan ide tentang teletubis tersebut. Dari savanna yang menjadi rute para pendaki Semeru, Ion sang pengojek, mengantarkan saya melewati jalan yang kedua sisinya curam terjal. Sebelah kiri jurang, jurang di sebelah kanan. Tapi melewati perkampungan petani ranu pane membangunkan saya bahwa Indonesia memang harus mengembangkan agribisnis di negeri ini. Ini seperti apa yang ada di kepalanya Wati, Budi dan Iwan, sahabat waktu saya kecil yang saya kenal di buku paket.

Dari ranu pane, perjalanan menelusuri pemukiman warga tengger makin mengasikan. Ladang-ladang yang sedang disiangi berselimutkan kabut. Hawa dingin yang memberi kesejukkan membuat saya beberapa kali harus menepuk bahu Ion dan memintanya untuk mengambil gambar saya dengan gaya natural yang dibuat senatural mungkin. Next time kalau saya berniat ikut take him out, saya sudah punya banyak stok gambar.

Menuju coban pelangi, perjalanan harus membelah hutan hujan tropis. Berkilometer saya dan ion berboncengan tanpa bertemu seorangpun. Dan akhirnya saya sampai di coban pelangi. Ion hanya bisa mengantarkan saya ke gerbang loket, setelah itu saya menuruni bukit sampai di coban atau curug dalam bahasa sunda. Dalam perjalanan menuju coban saya bertemu banyak orang dan kesemuanya berpelukan mesra. Jangan-jangan coban ini memang untuk para pasangan. Bulu kuduk saya tiba-tiba merinding, saya seperti ditemani seseorang. Ayat kursi saya lantunkan, bulu kuduk saya mulai normal sambil terus berjalan menuju coban. Setelah turun naik licin kering daratan ditempuh, saya sampai juga di coban pelangi. Dengan tinggi kira-kira 50 meter, curug ini memiliki bentuk sempurna hanya saja aliran airnya tak cocok untuk mandi dan berendam. Alamnya masih terlalu liar dan tak ramah. Saya hanya bisa beristirahat sebentar, mengambil beberapa foto diri menggunakan kamera dan tangan sendiri, setelah itu kembali ke gerbang.

Dan benar saja, perjalanan kembali ke gerbang memerlukan energi yang jauh lebih berat. Saya sempat 5 kali beristirahat. Bulu kuduk saya kembali meremang di tempat pertama kali bulu kuduk saya berdiri. Lagi-lagi ayat kursi dilantunkan. Saya punya pengalaman mistis 14 tahun lalu di salah satu curug di bogor. Tak perlu lah saya ceritakan, nanti bisa jadi scenario film tamara berikutnya.

Sampai di gerbong Ion sudah siap mengantarkan saya ke Malang. Di gerbang ini juga saya bertemu dengan dua teman saya kemarin. Ternyata mereka terilhami oleh saya untuk juga mengunjungi tempat-tempat yang saya kunjungi, kecuali mereka mengurungkan keRanu Pane karena jalannya yang terjal. Beberapa menit kemudian kami konvoi melewati kebun-kebun apel yang buahnya baru saja menyembul. Beberapa sudah selesai panen dan masih tersisa, saya mampir sebentar memetik satu saja buahnya merasakan sensasi memetik apel langsung dari pohonnya, sensasi mimpi masa kecil.

Perjalanan 2 hari ini just about to end. Dari Terminal Malang saya naek bus menuju Bungurasih, 15 ribu saja, 2 jam perjalanan. Dari Bungurasih, saya naik taxi bertiga dengan mahasiswa Unibraw yang duduk di samping saya di bus. 50 ribu bertiga, 20 menit, sampai di Bandara Juanda pukul 17.45. Di Bandara Juanda, saya dikerubuti Calo tiket. Mereka tahu saya penumpang Go Show. Mereka menawarkan harga tiket 450 rb ke Jakarta. Saya selayak Tukul saat itu. Ndak mau tahu dan ngga mau denger para calo. Dari counter ke counter saya datangi untuk mencari tiket termurah dan terdekat jadwalnya dan pilihan itu jatuh pada Mandalaair. 508 ribu tanpa minum tanpa snack. Di ketinggian 33000 kaki saya kehausan dan terpaksa membeli jus apel 300 ml seharga 18 ribu.

Sampai di Jakarta pukul 19.45 WIB dengan nuansa baru. Matahari terbit di puncak bromo adalah saat saya menyadari bahwa masih akan ada keriangan baru dalam hidup saya. Tapi, saya juga harus berhati-hati melangkah. Jika tidak hidup hanya akan mencengkeram saya sewarna jingga kemerahan di puncak Pananjakan

Minggu, 31 Januari 2010

Birthday at Bromo Part 1

Bromo is a beautiful place. You will feel like somewhere in Scotland (don’t ask me whether I ve been there or not)

By flight I arrived at Juanda Airport Surabaya at 11.30. setelah kurang lebih 20 menit, saya sampai di terminal Bungurasih. Alhamdulillah, sejak tadi saya ingin muntah naik bis Damri dari bandara Juanda. Tersangka utamanya adalah goyangan bus yang seperti odong-odong. Anak kecil di samping saya saja sudah 180 derajat berubah, yang semula riang dengan es krim ditangan sampai pucat pasi menahan gubakan isi perutnya. Beda sama seorang wanita ngejreng di samping saya. Dengan dandanan menor dan kaca mata hitam, saya sempat mengintip anunya..upps maksudnya, pesan yang ia tulis di SMS-nya. Begini kalau tidak salah, Mas Bambang, kalau kita ketemuan kira-kira istri Mas Bambang marah, Nda..?? Duh, terpaksa sekali saya menduga bahwa wanita di sebalah saya ini adalah PRT di Jakarta yang kesepian karena suaminya jadi TKW di Malaysia kemudian mencoba mencari selingkuhan baru.

Sampai di Bungurasih, suara calo-calo menggema. Saya serasa Tio Pakusadewo, berakting seolah-olah Bungurasih bagian dari jajahan saya. Saya mendongak biar para calo tak curiga saya yang baru pertama kali memasuki areanya. Saya selamat sampai di bis AKAS menuju Jember. Setelah memastikan bus akan melewati terminal probolinggo, saya simpan tas rangsel besar saya di kursi sebelah, biar tak ada orang yang berani mendudukinya dan saya dengan legawa hanya membayar Rp. 23.000 sekali jalan

Sampai di Probolinggo kira-kira jam 4. Hmm hampir putus hati saya. Konon, angkot menuju Cemoro Lawang di pundak Bromo hanya sampai jam 4. Mungkin kalau tidak ada badai yang merobohkan pohon-pohon di sisi jalan Pasuruan dan membuat bus AKAS yang saya tumpangi tersendat-sendat, saya pasti sudah sampai probolinggo jam 3. Alhamdulillah, ternyata masih ada yang menawarkan angkot ke Bromo, dan alhamdulillahnya lagi di dalam angkot tersebut sudah ada sepasang muda-mudi – seusia saya maksudnya. Seorang berkebangsaan Nepal, seorang lagi berkebangsaan Medan. Tanya punya tanya, mereka telah menunggu penumpang lainnya, yaitu SAYA, tak kurang dari 3 jam. Meski sudah 3 orang di dalam angkot, sang supir bergeming. Dia bilang, rugi lah kalau Cuma mengangkut 3 orang dengan tarif normal 25 ribu per orang. Ia mulai bernegosisasi bagaimana kalau kami bertiga membayar renteng 250 rb. Sang pria berkebangsaan Nepal, marah besar. Dia berteriak dengan ingris logat Indianya, Why now, after 3 hours waiting. I will stand still, I will try to give him a pressure katanya pada sang perempuan pasangannya. Aku senyum kecil di hati. Duuh pressure, Bandeng kali di pressure…

Akhirnya dengan berolah menjadi penengah aku bisa membuat angkot itu berangkat. 60 ribu seorang. Everyone deal, everyone happy but the Nepal Guy. Dan perjalanan menuju cemoro lawang ternikmati jauh lebih indah dari perjalanan ke puncak jawa barat. Alam yang bersahabat di dataran tinggi jawa timur itu masih perawan, rumah-rumah sederhana dikelilingi ladang kubis atau wortel. Ada banyak kabut yang bermain petakumpet di pekarangan rumah dan ladang. Sejuk yang menyejukkan dan dingin yang menghangatkan. Hmmm suatu saat saya ingin tinggal di salah satu rumah itu barang sebulan.

Sampai di cemoro lawang hampir jam 6. Sepi. Di sini, Kehidupan berakhir di jam 6 sore. Senyap, nanti agak malam sedikit akan ada lantunan suara mirip suara zikir dari pengeras suara mushola. Saya sempat bingung, para penduduk cemoro lawang mayoritas beragama Hindu, bagaimana mungkin ada Mushola yang melantunkan zikir dengan pengeras suara. Selidik punya selidik, ternyata pujian pada sang kholik dilantunkan dengan cara yang sama antara muslim dan pemeluk hindu di ranah jawa ini.

Hotel yang pertama dituju adalah hotel cemara indah. Hotel yang direkomendasikan banyak pengguna internet sekaligus hotel dimana angkot ke cemoro lawang berhenti. Pemandangannya luar biasa. Hotel Cemara Indah, terletak di sisi tebing yang menampilkan panorama lautan pasir, Bromo dan gunung Batok. Tapi, pemandangan itu hanya untuk kamar dengan rate 300 ribu. Untuk kamar yang ratenya 100 ribu, cukup dengan pemandangan bunga-bunga ranum merah muda dari gorden kain katun.

Akhirnya, mengikuti usulan supir angkot, saya dan kedua teman baru saya diantar ke homestay milik Pak Hartono persis di sebelah hotel cemara indah. 100 ribu untuk kamar yang jauh lebih layak dari kamar hotel cemara indah. Tak apalah. Toh di kamar ini tak kan ada aktivitas selain tidur.

Yah, memang tak akan ada aktivitas selain tidur. Di Homestay tak ada televisi, colokan listrik saja tak ada. Laptop yang saya bawa dari rumah dengan khayalan bisa menulis cerita sebagus laskar pelangi harus tetap dimatikan. Mau nyolokin listrik kemana?. Pun, dinginnya udara menusuk kalbu. Kasurnya pun menusuk otot. Kasur yang disediakan sama sekali tak memiliki daya membal. Tubuhku yang 85 Kg ini melesap dalam kasur tipis yang membusuk karena hawa dingin dataran tinggi Bromo ini. Tidur yang tak melelapkan. Jam 3.15, saya terbangun dari tidur tak lelap saya dikarenakan pegal otot tubuh yang kaku karena dingin udara dan lembab kasur melebihi ambang batas. Segelas Moccachino yang saya bawa dari rumah cukup menjadi pelipur lara dalam dingin udara pagi itu. Tapi, ketika mocahino tandas di bibir saya yang beku, saya segera mengenakan kupluk, syal dan sarung tangan. Keluar dari ruangan, saya serasa di New Zealand (again, don’t try to ask me whether saya udah kesana or not, TABU). Udara yang keluar dari hidung saya membentuk uap putih. Saya menikmati 10 menit sendiri di sepi cemoro lawang, hanya berteman uap putih dari mulut dan hidung saya. Setelah Pak Hartono mengetuk pintu para penghuni homestay yang lain, beberapa diantaranya kemudian bergabung bersama saya di halaman homestay. Salah satunya Mr. Takeshi, Japanese who had been travel around Indonesia for this 2 month. Dengan enggurisunya yang dame, dia berani traveru to java ne. Murai Bangdung, Soro, semarang, Surabaya dan Bromo, pake basu. Setelah itu, katanya dia mau ke Bali, lanjut ke giri airu. Syahdan, orang jepang lebih seneng giri airu daripada giri trawangan.

Jam 4, hardtop yang kami pesan seharga 100 rb per orang ke supir angkot tadi siang sudah menjemput. Saya dan dua teman saya satu angkot tadi sore langsung berada di satu hardtop. Takeshi memilih menggunakan motor ke puncak pananjakan yang suhunya mungkin 10 derajat. Tambah kagum aja saya sama nyali tuh orang. Dia juga bilang, nanti pulangnya dia akan jalan kaki dari Bromo, swimming in the ocean of sand, saya berseloroh. Dia tertawa, tapi saya tahu dia ngga ngerti maksudnya, mungkin saya harus merubah aksen ingris amerika saya sedikit. Anata wa swiminngu on e osiang of sanu desu.

Hardtop saya yang telah berisi tiga orang harus menjemput tiga orang penumpang lainnya. Satu keluarga dari Australia. Mariza, Simon dan their daughter. Tak banyak perbincangan di hardtop. Selain udara masih membeku, goyangan hardtop yang melewati jalan terjal menuju puncak pananjakan membuat kami harus berpegang teguh pada apapun yang bisa dipegang. Sampai di puncak jam 5 lewat, sudah ada lebih dari seratus orang berebut mencuri awal matahari terbit di sisi tempat yang telah disediakan. Kami termasuk yang terakhir tiba sehingga kami hanya bisa berdiri di belakang. Tapi cukuplah melihat matahari terbit sebagus itu. Terlebih ini adalah awal hari baru buat saya karena pagi itu bertepatan dengan satu hari sebelum usia saya genap sekian sekian. Actually this travel is a special birthday gift for me from myself.

Cuma 40 menit kami menikmati matahari terbit dari puncak bukit. Dari lautan cumulus nimbus di kejauhan, jingga matahari menyuarakan keriangan sekaligus kengerian. Seperti hidup setiap harinya, selalu menyediakan keriangan dan kengerian bergantian bahkan kadang bersamaan. Setelah dari pananjakan, hardtop kembali menuruni bukit dan menuju lautan pasir. Di tengah lautan pasir itu ternyata kami diturunkan karena dari sana kami harus berjalan sekitar 3 Km kemudian menaiki anak tangga 45 derajat kemiringan untuk sampai di bibir Bromo. Saya memilih paket mudah. Menggunakan kuda yang dibayar menggunakan voucher seharga 50 rb. Sempat saya berbohong sama sang pengangon kuda yang saya naiki. Kustiawan, sang pengangon dengan halus bilang ke saya, Mas Beratnya berapa? Saya yang sensitif terhadap pertanyaan tentang berat, balik bertanya. Memangnya kenapa Kus? Kuda ini maksimal menganggkut penumpang dengan berat 80 Kg. Saya menjawab halus, ooh saya beratnya 80 Kilo ko..kustiawan tersenyum, entah mengiyakan atau ia tak mau menampik rezeki. Tapi kata-kata Kustiawan berikut membuat saya ketar ketir. Iya Pak, kalau di atas 80 Kg kudanya akan berhenti di tengah jalan mendaki nanti..kustiawan menjawab pertanyaan saya berikutnya, hati saya mulai dagdigdug.

Kuda berjalan tertatih. Tubuh saya yang baru pertama kali menaiki kuda, kaku. Beberapa kali saya hampir terjatuh. Setelah setengah perjalanan baru saya tahu tipsnya menaiki kuda. Saya teringat pengalaman Jack Scully di Avatar, the key is connection. Jadilah saya elus-elus pundak sang kuda dan merasakan kenyamanan berada di pundaknya. Tubuh saya meluruh dinamis mengikut gerak tapak kuda menaiki jemari Bromo. Saya serasa terbang meliuk diantara floating islands di Planet of Pandora

(berlanjut.....)