Senin, 29 Maret 2010

Engkau Masih Baik

Engkau seperti guci antik di rumahku
Kurawat engkau semampuku
Kujunjung kehormatan keindahanmu
Tapi di belakangku
Engkau seperti toples kue
Haruskah berlanjut kujunjung kehormatanmu

Engaku (mungkin) baik hati
Mungkin engkau tak seburuk yang kupikirkan
Engkau memiliki berjuta kebaikan
Buruk dan baik Cuma masalah subyek penilai
Engkau pastilah baik buatmu, buat para pemujamu
Buat tetangga-tetanggamu, buat teman malammu
Tapi belum baik buatku
Atau aku harus sepertimu, biar aku mampu melihatmu baik

Main Hati

Jangan merasa bersalah
Jika kau baca banyak luka di kisahku
Jadilah dirimu sebelum ini
Yang tak pernah bermain hati
Untukku dan puluhan temanmu

Pintu dan Jendela

Sejak aku lahir
Aku telah menutup pintu diriku sekuat aku mampu
Tapi rusaknya diriku
Karena engkau telah membukakan jendela
Membawa debu hitam menempel di dalam diriku
Apatah guna sekarang masih kubiarkan pintuku tertutup

Datanglah Cinta Baru

Datanglah engkau wahai pribadi baru
Mendekatlah padaku
Aku telah rindu padamu
Engkaulah pemilik cinta sejatiku
Yang menantiku, kunantimu

Engkau lah pemilik sejuta puisiku
Yang membenarkan kisah-kisah sejati tentang cinta
Yang mengimani puisi-puisi romantisku

Datanglah mendekati wahai pribadi baru
Masih ada sejuta puisi dan kisah romantic untukmu
Kan kuhidangkan apapun yang kau mau
Karena kau cinta sejatiku
Penyelamat keyakinanku
Bahwa akan selalu ada satu cinta sejati untuk setiap umat

Sakit Hatiku

JIka kau ingin tahu betapa sakitnya hatiku
Cobalah ke batu hiu
Cabutlah seruas pandan berduri terbesar di sana
Masukkan sedepa ke liang hatimu
Lalu kau iris hatimu pelan-pelan
Biarkan durinya lepas satu-satu dan bersarang di sana
Teruslah bergerak pelan-pelan
Sampai enam purnama berlalu

Jika kau ingin tahu betapa sakitnya hatiku
Kubur saja keinginanmu
Karena kau takkan mampu merasakannya

Aku tak marah padamu

Aku tak pernah cemburu kau memilih orang lain
Aku sadar, aku tak kan mampu diperbandingkan dengan puluhan orang
Aku hanya menyesalkan tujuh purnama berlalu jauh dari harapku
Mungkin tak sepenuhnya salahmu
Aku yang terlalu emosi mencinta
Hingga tak lagi nalarku terlibat

Baru kutahu Engkau jauh dari berhak atas cintaku
Tapi, Engkau telah sita waktuku
Hingga aku tak lagi mungkin merasakan cinta sejati
Cinta dalam puisi dan kisah yang kutulis untukmu
Yang engkau bilang menyukainya
Mungkin karena engkau bisa mentertawakan kenaifan kisah cinta yang kuimpikan

Aku tak pernah marah padamu karena kau memilih orang lain
Aku hanya marah atas diriku yang begitu bodoh menerimamu

Hatiku tak lagi berdarah

Mengapa tak kau tinggalkan saja diriku
Jika hanya ingin kau toreh luka baru

Untukmu ketahui,
Hatiku tak lagi punya darah yang mengalirkan rasa sakit
Tak guna kau bujuk aku untuk mempercayaimu lagi
Untuk kemudian kau lukai lagi
Karena hatiku tak lagi punya darah

Ini bukan puisi untukmu

Aku rindu menulis puisi
Merangkai kata paling romantis sedunia
Seperti dulu kerap aku lakukan untukmu

Tapi tidak kini,
Aku ingin menulis sebanyak puisi
bukan untukmu
Karena puisi yang kutulis murni dari hatiku
Tak pernah berarti apa-apa untukmu
Bahkan, kau hempas semuanya

Hingga tahunan hatiku bisu berpuisi
tak bertenaga menulis satu katapun
Hanya mampu membaca remah puisi yang tak berarti apa-apa buatmu

Aku akan menulis sejuta puisi
Hingga tumpah semua rasaku
Tapi tak kan kutulis sebait puisi pun untukmu
Tak kan pula berguna kugarami air selautan

Jumat, 26 Maret 2010

Hatiku Belah

Hatiku masih belah berantakan. Seperti didera gempa dadakan. Retak-retak tak beraturan.
Hatiku ternyata rapuh. Berdentum setiap detiknya seperti tak henti ditabuh.
Luluh bergemuruh. Ledak berkeredap. Lalu belah berantakan.