Jumat, 22 Oktober 2010

Menikahlah Denganku

Di sudut sebuah rumah makan di Jakarta. Remang cahaya lilin meruapkan aura romantis. Tak banyak pengunjung menikmati hidangan di rumah makan fine dining terbaik di Jakarta ini. Di antara para pengunjung, kami diam khusyuk saling menatap.

“Maukah kau menikah denganku..??”
Ia berlutut, menengadah dengan wajah terdedah harap. Aku bergeming, terkejut.
“Maukah kau menikah denganku, Ayu..??”
Ia mengulang katanya dengan suara yang lebih berat, berharap jawab.

Aku berdiri dari dudukku, mengangkat kedua telapak tangannya dari kedua telapak tanganku, pelan dengan cinta tak terbelah. Hatiku gundah, apa yang aku takutkan akhirnya datang juga. Bukan aku tak mencintainya, atau tak ingin menghabiskan waktu berdua dengannya seumur hidupku. Hanya saja, menikah dengannya..?? akhhh…

Lima belas bulan sebelumnya…
Senja di salah satu sudut Helsinski; Aku duduk di salah satu sudut café di dekat hotel dimana aku menginap di daerah Katajanoka. Aku baru akan datang ke tempat konferensi esok hari. Sore ini setelah menyegarkan diri di hotel, Aku menyempatkan keluar hotel dengan jaket yang kugunakan untuk menepis hawa dingin dan sebundel makalah yang harus kupresentasikan pada hari keempat dari lima hari konfrensi yang direncanakan.

Di sudut café yang didesain dengan gaya eropa: dinding batu bata merah ranum; lampu dinding ala mediterain; kudapan dan kopi yang masih mengepul, aku sibuk membuka-buka makalah ditangan. Sesekali kutatap orang-orang disekeliling sambil berpikir beberapa dari mereka mungkin juga peserta konfrensi besok hari yang diadakan oleh Working Group on DNA Analysis Method, sebuah organisasi bentukan FBI. Aku diundang dalam konfrensi ini semata karena aku terlibat langsung dalam analisa DNA korban tragedi Bali 2002 lalu, dan FBI yang terlibat dalam penyelidikan waktu itu menganggap aku Mas Ayu Putri Avieska layak berbicara di forum internasional itu.

Senja yang terus berjalan merubah sinar mentari yang keemasan menghilang. aku masih terpekur dengan makalah ditangan, saat seseorang menyapa.
“Indonesian…??”
Aku mengangkat pandang, menatap sumber suara.
“Yah,…” aku menjawab senang.
“Saya,.Roy..nice to have people from Indonesia, here…”
“Ya, nice to meet you too..”
“Silahkan,..” sambungku mempersilahkan teman baruku untuk duduk

“Travel atau sedang dinas…??,..” ia membuka percakapan
“Hmmm,..dinas.” aku menjawab tanpa melepaskan bundel makalah di tangan
“Oww..nampaknya Anda sangat serius, boleh saya tahu apa yang Anda baca..”
Aku mengernyitkan dahi, mungkin malu atau bahkan bangga dengan jawaban yang aku akan berikan atas pertanyaannya. Akhirnya, aku cuma bisa mengangkat makalah dan membalikan halaman depannya agar ia bisa membacanya sendiri.
“Advanced Using MtDNA at Restriction Fragment Length Polymorphisme method.. God, what a title,..Anda yang menulis…??”
Aku cuma membalas dengan senyum, bangga.
“Ini hari pertama di Helsinki..??”
“Yup..”
“Bagaimana kalau saya ajak Anda berkeliling , sayang kalau Anda ke Helsinki tapi tak sempat melihat banyak hal di sini. Ayo lah,..nanti akan saya ajak Anda melihat taman Sibelius atau taman Kaivopuisto, semuanya indah, terutama patung-patung Roma-nya.
Ayolah, tak mungkin saya berbuat jahat sama orang satu negara, lagi pula apa saya ada tampang penjahat…” rayunya.

Akupun mengangguk tanda setuju. Aku juga tertarik untuk menikmati pemandangan Helsinki lebih jauh. Beberapa saat kemudian kami berada di pedestrian melewati gedung-gedung yang berarsitek sangat eropa hasil peninggalan kekusasaan Rusia di ibukota Finlandia ini. Aku tertegun mengagumi Tsarina`s stone, tugu yang diatasnya bertengger elang emas berkepala dua, objek yang tak pernah dilewati turis mancanegara saat berkunjung ke Helsinski.

“Anda belum cerita, tujuan anda di Helsinki…” tanyaku
“Hmm..Anda sudah berkeluarga,..???” tanyanya mengelak dari pertanyaanku
“Belum,..”
“Mengapa…??” Hening yang panjang, ia nampak tak nyaman
“Yaaaa, belum ada cinta yang menepi..” jawabku sekenanya
“Hmm..”, ia sedikit terkekeh,… “tak kan pula cinta menepi bila belum kau siapkan dermaga untuk cinta menepi” katanya.
“Kamu…??”
“Hampir…”
Aku memandang wajahnya,..meminta penjelasan..
“Aku justru berbeda denganmu, justru karena seringnya cinta menepi, aku tak pernah jadi menikah.”
“Maksudmu..??”
“Aku mudah jatuh cinta, bahkan suatu saat, aku pernah mencintai 7 orang dalam satu waktu..”
“Tujuh..???!!, bagaimana mungkin, engkau cuma punya satu tulang rusuk yang terserabut.”
“Tujuh,…??!!” Aku masih belum mengerti
“Aku selalu menemukan kekurangan dari orang yang aku cintai, dan ketika tidak kutemukan kekurangan tersebut pada seseorang, aku akan mencintainya,..dan begitu seterusnya, sehingga genaplah sudah tujuh orang yang saling melengkapi satu sama lain dan tak mungkin semuanya aku nikahi,..kan…??.”
“Tapi, yang engkau cintai dari jenis manusia kan..?? Mencintai manusia berarti engkau akan menemukan kekurangan di dalamnya,” debatku

“Kamu, kenapa tak kau coba untuk menjadikan seseorang sebagai kekasih…?” balasnya
Ia menatapku, kali ini lebih dalam.Aku kikuk tapi mata kami bertemu lama.

Helsinki pada senja menjadi kolaborasi tempat dan waktu yang menyenangkan untuk menikmati pedestrian. Tak terasa kami telah berjalan lebih dari satu kilometer. Kini kami berada di teras katedral Uspanski, katedral yang dibangun oleh AM Gornostayev pada tahun 1868. Di sini kami dapat melihat Helsinski secara lebih detail, terlihat market square yang hanya ramai pada pagi hingga siang dan kapal-kapal pesiar yang berseliweran di laut Baltik.

“Kamu pernah jatuh cinta…??? tanyanya
“Cinta terlalu absurd buatku, ia kata yang terbang, rasa yang tak terdefinisi, aku lebih suka menjabarkan sel eukariot dan proses migrasi kromosom ketimbang harus bicara tentang cinta.” Jawabku panjang lebar. Aku memang asing dengan cinta. Sejak aku baligh sampai usia awal tiga puluhan seperti saat ini, aku belum pernah merasakan jatuh cinta. Aku pernah menyukai seorang teman SMA dulu, tapi sesuatu dalam benakku melarangnya. Alhasil, aku cuma bisa menunjukkan rasa benci pada laki-laki yang sebenarnya membuat jantungku berdegup keras. Aku akhirnya sibuk dengan urusan sekolah, kuliah dan penelitian. Aku tak mengindahkan banyak laki-laki yang sebenarnya mengejar cintaku. Aku rigid. Aku cuma tak ingin menyia-nyiakan hidupku untuk sebuah perasaan serupa cinta. Persis seperti ayah ibuku yang akhirnya bercerai demi mengejar cinta yang baru. Padahal mereka pernah saling mencintai ketika mereka menikah. Mereka masih saling mencintai ketika aku lahir. Tapi ketika cinta mereka pupus dan masing-masing menemukan cinta yang baru, mereka tega meninggalkanku di rumah nenekku. Cinta baru mereka membuat mereka lupa, aku masih butuh kasih sayang. Kata-kata barusan terucap tanpa sadar. Belum pernah aku menceritakan hal yang sangat pribadi tersebut kepada orang lain. Terlebih lagi pada orang yang baru 2 jam aku kenal.
“Tapi, sejatinya manusia adalah makhluk pencinta, kamu pasti akan merasakannya lagi ” katanyanya menyudutkan
“By the way, senja hampir menepi, malam akan segera datang. Kita kembali ke Katajanoka, hotelku tak jauh dari café tadi kita bertemu.” Aku tak suka arah pembicaraannya barusan.
“OK..kita bisa bertemu lagi..???”
“Mungkin..” jawabku..

Seperti yang sudah dijadwalkan, pada hari keempat aku menjadi pembicara dengan makalah yang memang telah aku persiapkan. Aku sepintas menangkap wajah Roy diantara para peserta seminar. Dan betul sesaat setelah seminar berakhir Roy datang menghampiri.
“Good Job, Indonesia butuh orang-orang yang mampu mengharumkan nama bangsa seperti kamu ”
“Thanks..!!.” Aku tersenyum, menatapnya dalam..menyenangkan rasanya menemukan seorang Indonesia di antara kerumunan wajah kaukasia. Ia juga menatapku dengan cara yang sama.
“you know what..?..presentasi kamu tadi mengingat saya arti pentingnya cinta”
Aku terkaget, apa maksud dari perkataannya barusan.
Ia melanjutkan, “Cinta itu seperi Mitokondria yang tadi kamu jelaskan di seminar, ia adalah penyemangat, penghasil adenosin tripospat yang membangkitkan energi, keberadaannya mesti ada pada semua sel, terutama pada saat-saat dimana kita perlu pembangkit gairah, seperti juga mitokondria yang sangat dibutuhkan oleh sel-sel kontraktil dan sel-sel tubuh yang selalu membelah seperti pada epitelium, akar rambut dan epidermis kulit”
Aku terhenyak, aku belum mengenalnya jauh.
“Kapan balik ke Jakarta..??” tanyanya
Aku tersentak dari lamun panjangku untuk mencoba menebak lebih jauh identitas orang yang telah membuatku salah duga, membuatku bangga.
“Oh..besok, pesawat jam 8 malam, kamu…??”
“Mungkin saya akan menetap disini sampai setahun kedepan..Penelitianku tentang perilaku ribosom pada proses duplikasi DNA virus HIV belum selesai..” jawabnya.
Aku kembali tertaget, tapi aku merasakan nyaman yang baru kali ini kurasakan bersama seorang laki-laki. Meski terlambat, tapi mungkin aku masih layak merasakan cinta.

Kembali ke Jakarta…
“Bukankah seharusnya engkau gembira, Sayang..??” ia telah berdiri dengan sejuta tanya
“Aku gembira, Roy..hanya sajaa..?”
“hanya saja..??” ia berlalu menjauh, perlahan, pasti dengan gusar yang menggelombang.
“Roy..??!” aku setengah berteriak memanggilnya, ia berhenti, dan berbalik arah
“Bukannya aku tak mencintaimu, Roy, hanya saja,…”
Wajahnya kritis mengharap penjelasan.
“Hanya saja, aku..aku tak percaya dengan…..per ni ka han”
Roy terkejut. Ekspresinya seperti tanaman yang bertahun-tahun tak disiram
“Cobalah mengerti dulu dan tak menjadi hakim sebelum saya jelaskan semua..”
“Saya tak percaya pada pernikahan, karena cinta tak harus dikontrak sehidup semati, itu sama saja memenjarakan rasa, sesuatu yang saya sendiri tak tahu bentuknya, kamu ingat ceritaku lima belas bulan yang lalu tentang kedua orang tuaku, kan?”
“Jadi, kau tak sepenuhnya mencintaiku..?” tanyanya sedih
“Bbbb bukan begitu, I do love you, so so much, but..do I love you next year..?”
“ I will love you next year, and the years after…believe me.” Roy menjawab setengah berteriak mengguncang bahuku dan memaksa mata kita bertabrakan
“ Saya percaya kamu Roy, tapi..”
“ Tapi apa..??!!, kamu takut kita tak saling mencintai ke depan..??!’, ya Tuhan, kamu dan saya tak kan pernah tahu apa kita akan saling mencintai kecuali kita mencobanya”
“Apa jadinya jika kita tidak lagi saling mencintai sementara kita masih terikat pernikahan..??”
“Ayu, mencintai is a never ending process, menikah adalah cara untuk melegalkan proses cinta bertumbuh. Cinta akan membesar kala kita menikah, karena kita akan berproses untuk mengetahui satu sama lain. It’s a process Ayu..”
“Tapi, mereka menjadi musuh setelah menikah, bersitegang dan saling membenci setelah menikah”
“Itu karena mereka berpikir bahwa menikah adalah pelabuhan terakhir dari cinta, it wasn’t, pernikahan itu awal bukan akhir perjalanan cinta, banyak orang sukses bertumbuh cintanya setelah menikah, bahagia luar biasa setelah itu, trust me..!!”
“I do trust you, mungkin kamu banyak melihat orang yang bahagia setelah menikah, Tapi aku dengan mata kepalaku justru melihat sebaliknya”
Roy luluh lemas. Tak tahu apa lagi yang harus dikatakannya padaku, perempuan yang katanya telah memenuhi hatinya sejak lima belas bulan lalu. Kami diam di kursi masing-masing, membiarkan udara malam membekukan tubuh kami, menyerahkan semuanya pada waktu, sang penguasa alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar